Globalisasi ekonomi dunia sebagai suatu fenomena pada dekade terakhir ini tidak bisa dihindari. Kehadiran Indonesia pada peta ekonomi dunia tidak bisa dipungkiri lagi menuntut kemampuan untuk berkembang sebagai suatu kekuatan baru ekonomi dari dunia ketiga. Perkembangan ekonomi yang begitu cepat menuntut kesiapan dan kemampuan pranata hukum dalam mengikuti perkembangan ekonomi sebagai akibat dari globalisasi ekonomi dunia tersebut.
Salah satu fenomena nyata dari pertumbuhan ekonomi akibat dari globalisasi ekonomi ini adalah meningkatnya kebutuhan perusahaan-perusahaan terhadap modal dan kebutuhan menuntut struktur permodalan yang kompleks. Perkembangan lebih lanjut dari fenomena ekonomi ini adalah dalam bentuk penyertaan modal secara informal seperti dalam bidang licensing, franchising, maupun technical assistance.
Akhir-akhir ini, kita sering mendengar kata waralaba atau franchising, transaksi bisnis yang bertaraf franchise kini mulai marak karena selain biaya murah dan bahan sudah disediakan juga tidak terlalu memakan tempat yang begitu luas. Banyak model-model franchising yang kini muncul disekitar kita, seperti makanan cepat saji ayam goreng ala KFC, akan tetapi harganya di bawah KFC dan sebagainya.
Makadari itu, pada tugas ini kami merasa perlu membahas mengenai tren pasar franchise ini. Pada penulisan makalah ini, kami akan membahas mengenai apa sebenarnya franchising atau usaha waralaba ini. Selain itu, kami juga kan membahas mengenai aspek hukum dalam usaha ini baik dari hukum bisnis maupun hukum Islam.
  1. Mengenal Franchise Business
Franchising atau waralaba (dari bahasa Prancis untuk kejujuran atau kebebasan) adalah hak-hak untuk menjual suatu produk atau jasa maupun layanan. Sedangkan menurut versi pemerintah Indonesia, yang dimaksud dengan waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak memanfaatkan dan atau menggunakan hak dari kekayaan intelektual (HAKI) atau pertemuan dari ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan jasa. Sedangkan menurut Asosiasi Franchise Indonesia, yang dimaksud dengan Waralaba ialah: Suatu sistem pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan akhir, dimana pemilik merek (franchisor) memberikan hak kepada individu atau perusahaan untuk melaksanakan bisnis dengan merek, nama, sistem, prosedur dan cara-cara yang telah ditetapkan sebelumnya dalam jangka waktu tertentu meliputi area tertentu.
Franchisor atau pemberi waralaba, adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya. Franchisee atau penerima waralaba, adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki pemberi waralaba.
Waralaba diperkenalkan pertama kali pada tahun 1850-an oleh Isaac Singer, pembuat mesin jahit Singer, ketika ingin meningkatkan distribusi penjualan mesin jahitnya. Walaupun usahanya tersebut gagal, namun dialah yang pertama kali memperkenalkan format bisnis waralaba ini di AS. Kemudian, caranya ini diikuti oleh pewaralaba lain yang lebih sukses, John S Pemberton, pendiri Coca Cola. Namun, menurut sumber lain, yang mengikuti Singer kemudian bukanlah Coca Cola, melainkan sebuah industri otomotif AS, Generals Motors Industry ditahun 1898. Contoh lain di AS ialah sebuah sistem telegraf, yang telah dioperasikan oleh berbagai perusahaan jalan kereta api, tetapi dikendalikan oleh Western Union serta persetujuan eksklusif antar pabrikan mobil dengan dealer.
Waralaba saat ini lebih didominasi oleh waralaba rumah makan siap saji. Kecenderungan ini dimulai pada tahun 1919 ketika A&W Root Beer membuka restauran cepat sajinya. Pada tahun 1935, Howard Deering Johnson bekerjasama dengan Reginald Sprague untuk memonopoli usaha restauran modern. Gagasan mereka adalah membiarkan rekanan mereka untuk mandiri menggunakan nama yang sama, makanan, persediaan, logo dan bahkan membangun desain sebagai pertukaran dengan suatu pembayaran. Dalam perkembangannya, sistem bisnis ini mengalami berbagai penyempurnaan terutama di tahun l950-an yang kemudian dikenal menjadi waralaba sebagai format bisnis (business format) atau sering pula disebut sebagai waralaba generasi kedua. Perkembangan sistem waralaba yang demikian pesat terutama di negara asalnya, AS, menyebabkan waralaba digemari sebagai suatu sistem bisnis diberbagai bidang usaha, mencapai 35 persen dari keseluruhan usaha ritel yang ada di AS. Sedangkan di Inggris, berkembangnya waralaba dirintis oleh J.Lyons melalui usahanya Wimpy and Golden Egg, pada tahun 60-an. Bisnis waralaba tidak mengenal diskriminasi. Pemilik waralaba (franchisor) dalam menyeleksi calon mitra usahanya berpedoman pada keuntungan bersama, tidak berdasarkan SARA.
Pada saat ini dapat dikatakan bahwa franchising merupakan salah satu segi pemasaran dari banyak kemungkinan cara memasarkan usaha yang sedang berkembang pesat. Franchising adalah sebuah bentuk jaringan bisnis, jaringan yang terdiri dari banyak pengusaha yang bekerja dengan sebuah sistem yang sama.
Salah satu keuntungan bisnis franchising ini adalah penerima waralaba tidak perlu lagi bersusah payah mengembangkan usahanya dengan membangun citra yang baik dan terkenal. Ia cukup menumpang pada pamor yang sudah terkenal dari pemilik waralaba(franchisor), sehingga demikian penerima waralaba(franchisee) yang umumnya adalah pengusaha kecil akan menikmati kesukseskan dan keberuntungan dari perusahaan berskala besar tanpa harus melaksanakan sendiri suatu riset dan pengembangan, pemasaran dan promosi yang biasanya memerlukan biaya yang sangat besar yang tidak mungkin dipikul oleh pengusaha kecil tersebut.
Oleh karena sistem yang disediakan tersebut, seorang pemilik modal atau perusahaan tidak harus memulai usahanya dari nol, sehingga resiko kegagalan dari usaha pemilik nodal menjadi sangat kecil. Dengan keuntungan dan keunggulan yang ditawarkan dengan model bisnis franchise ini, banyak masyarakat pemilik modal yang memang pada awalnya sudah menyiapkan dananya untuk membuka usaha menjadi tertarik untuk menginvestasikan dananya kedalam format bisnis ini. Tanpa memperhatikan lagi sisi-sisi kelemahan dan resiko atas bisnis ini.
Meskipun resiko kegagalan dari pemilik modal sangat kecil, namun bukan berarti format usaha seperti ini bebas dari resiko. Salah memilih fanchisee bisa berbahaya, karena franchisee yang tidak tepat bisa menghambat dalam pengembangan usaha, merusak citra merk franchisor, mencuri sistem bisnis francishor dan menerapkannya dalam usaha yang sejenis sehingga menjadi kompetitor bagi franchisor. Franchisee pun dapan terancam apabila franchisor membuka usaha baru yang sejenis dengan usaha yang telah ia serahkan kepada franchisee sehingga menjadi kompetitor bagi franchisee.
Berdasarkan masalah-masalah yang dikemukakan diatas, menunjukkan bahwa bisnis franchise ini juga berpotensi menimbulkan konflik. Maka dari itu, diperlukan adanya suatu hukum yang mengatur dan melindungi hak-hak yang terlibat dalam bisnis franchise ini
  1. Bisnis Franchise dalam Perspektif Hukum Positif
Di Indonesia, sistem waralaba mulai dikenal pada tahun 1950-an, yaitu dengan munculnya dealer kendaraan bermotor melalui pembelian lisensi. Perkembangan kedua dimulai pada tahun 1970-an, yaitu dengan dimulainya sistem pembelian lisensi plus, yaitu franchisee tidak sekedar menjadi penyalur, namun juga memiliki hak untuk memproduksi produknya . Agar waralaba dapat berkembang dengan pesat, maka persyaratan utama yang harus dimiliki satu teritori adalah kepastian hukum yang mengikat baik bagi franchisor maupun franchisee. Karenanya, kita dapat melihat bahwa di negara yang memiliki kepastian hukum yang jelas, waralaba berkembang pesat, misalnya di AS dan Jepang. Tonggak kepastian hukum akan format waralaba di Indonesia dimulai pada tanggal 18 Juni 1997, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba. PP No. 16 tahun 1997 tentang waralaba ini telah dicabut dan diganti dengan PP no 42 tahun 2007 tentang Waralaba. Selanjutnya ketentuan-ketentuan lain yang mendukung kepastian hukum dalam format bisnis waralaba adalah sebagai berikut:
  • Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 259/MPP/KEP/7/1997 Tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba.
  • Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba
  • Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten.
  • Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
  • Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.
Menurut pasal 1 PP No. 16 Tahun 1997 tentang tata cara pelaksanaan pendaftaran waralaba, pengertian waralaba (franchisee) adalah : “perikatan di mana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan dan/atau penjualan barang atau jasa”.
Waralaba dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu waralaba merek dan produk dagang (product and trade franchise) dan waralaba format bisnis (business format franchise). Dalam Waralaba merek dagang dan produk, pemberi waralaba memberikan hak kepada penerima waralaba untuk menjual produk yang dikembangkan oleh pemberi waralaba disertai dengan izin untuk menggunakan merek dagangnya. Atas pemberian izin pengunaan merek dagang tersebut pemberi waralaba mendapatkan suatu bentuk bayaran royalty di muka, dan selajutnya dia juga mendapat keuntungan dari penjualan produknya. Misalnya: SPBU menggunakan nama/merek dagang PERTAMINA.
Sedangkan waralaba format bisnis adalah pemberian sebuah lisensi oleh seseorang kepada pihak lain, lisensi tersebut memberikan hak kepada penerima waralaba untuk berusaha dengan menggunakan merek dagang atau nama dagang pemberi waralaba dan untuk menggunakan keseluruhan paket, yang terdiri dari seluruh elemen yang diperlukan untuk membuat seseorang yang sebelumnya belum terlatih menjadi terampil dalam bisnis dan untuk menjalankannya dengan bantuan yang terus-menerus atas dasar-dasar yang telah ditentukan sebelumnya. Waralaba format bisnis ini terdiri dari :
  • Konsep bisnis yang menyeluruh dari pemberi waralaba.
  • Adanya proses permulaan dan pelatihan atas seluruh aspek pengelolaan bisnis, sesuai dengan konsep pemberi waralaba.
  • Proses bantuan dan bimbingan terus-menerus dari pihak pemberi waralaba.
Dalam bisnis franchise ini, yang dapat diminta dari franchisor oleh franchisee adalah sebagai berikut :
  • Brand name yang meliputi logo, peralatan dan lain-lain.
  • System dan manual operasional bisnis.
  • Dukungan dalam beroperasi. Karena franchisor lebih mempunyai pengalaman luas.
  • Pengawasan (monitoring). Untuk memastikan bahwa sistem yang disediakan dijalankan dengan baik dan benar scara konsisten.
  • Penggabungan promosi/joint promotion, hal ini berkaitan dengan brand name.
  • Pemasokan, ini berlaku bagi franchisee tertentu, misalnya bagi franchisor yang merupakan supplier bahan makanan/minuman. Kadang franchisor juga memasok mesin-mesin atau peralatan yang diperlukan.
Franchisor yang baik biasanya ikut membantu franchisee untuk mendapatkan sumber dana modal dari investor (fund supply) seperti bank misalnya, meskipun itu jarang sekali. Perjanjan waralaba adalah perjanjian forma. Hal tersebut dikarenakan perjanjian waralaba memang disyaratkan pada pasal 2 PP No. 16 Tahun 1997 untuk dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia. Hal ini diperlukan sebagai perlindungan bagi kedua belah pihak yang terlibat dalam perjanjian waralaba.
Secara umum dikenal adanya dua macam atau jenis kompensasi yang dapat diminta oleh pemberi waralaba (franchisor) dari penerima waralaba (franchisee). Pertama, kompensasi langsung dalam bentuk moneter (direct monetary compensation) adalah lump sum payment dan royalty. Lump sum payment adalah suatu jumlah uang yang telah dihitung terlebih dahulu yang wajib dibayarkan oleh penerima waralaba (franchisee) pada saat persetujuan pemberian waralaba disepakati. Sedangkan royalty adalah jumlah pembayaran yang dikaitkan dengan suatu presentasi tertentu yang dihitung dari jumlah produksi dan/atau penjualan barang dan/atau jasa yang diproduksi atau dijual berdasarkan perjanjian, baik disertai dengan ikatan suatu jumlah minimum atau maksimum jumlah royalty tertentu atau tidak.
Kedua, kompensasi tidak langsung dalam bentuk nilai moneter (indirect and nonmenetary compensation). Meliputi antara lain keuntungan sebagai akibat dari penjualan barang modal atau bahan mentah, yang merupakan satu paket dengan pemberian waralaba, pembayaran dalam bentuk deviden ataupun bunga pinjaman dalam hal pemberi waralaba juga turut memberikan bantuan financial, baik dalam bentuk ekuitas atau dalam wujud pinjaman jangka pendek maupun jangka panjang, cost shifting atau pengalihan atas sebagian biaya yang harus dikeluarkan oleh pemberi waralaba, perolehan data pasar dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh penerima lisensi dan lain sebagainya.
Menurut pasal 3 ayat 1 PP nNo. 16 Tahun 1997, bahwa pemberi waralaba sebelum mengadakan perjanjian dengan penerima waralaba wajib menyampaikan keterangan-keterangan antara lain mengenai, nama pihak pemberi waralaba, hak atas kekayaan intelektual, persyaratan-persyaratan, bantuan dan fasilitas, hak dan kewajiban, pengakhiran, pembatalan dan perpanjangan perjanjian.
  1. Bisnis Franchise dalam Perspektif Islam
Dalam hukum Islam, kerja sama dalam hal jual beli dinamakan syirkah. Syirkah dibagi menjadi 3 bentuk yaitu :
  1. Syirkah ibahah, yaitu : persekutuan hak semua orang untuk dibolehkan menikmati manfaat sesuatu yang belum ada di bawah kekuasaan seseorang.
  2. Syirkah amlak (milik), yaitu : persekutuan antara dua orang atau lebih untuk memiliki suatu benda, syirkah amlak dibagi menjadi 2.
  3. Syirkah akad, yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih yang timbul dengan adanya perjanjian. Syirkah akad dibagi menjadi empat (4), yaitu :
  • Syirkah amwal, yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih dalam modal/harta.
  • Syirkah a’mal, yaitu perjanjian persekutuan antara dua orang atau lebih untuk menerima pekerjaan dari pihak ketiga yang akan dikerjakan bersama dengan ketentuan upah dibagi menjadi dua.
  • Syirkah wujuh, yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih dengan modal harta dari pihak luar.
  • Syirkah mudharabah, yaitu kemitraan (persekutuan) antara tenaga dan harta, seorang (supplier) memberikan hartanya kepada pihak lain (pengelola) yang digunakan untuk bisnis, dengan ketentuan bahwa keuntungan (laba) yang diperoleh akan dibagi menurut kesepakatan kedua belah pihak. Dasarnya bentuk mudharabah adalah peminjaman uang untuk keperluan bisnis.
Syirkah mudharabah ini dibagi menjadi 2 bentuk, yaitu mudharabah muthlaqah dalam hal ini pemodal memberikan hartanya kepada pelaksana untuk dimudharabahkan dengan tidak menentukan jenis kerja, tempat dan waktu serta orang. Sedangkan mudharabah muqayyadah (terikat suatu syarat), adalah pemilik modal menentukan salah satu dari jenis di atas.
Bila diperhatikan dari sudut bentuk perjanjian yang diadakan waralaba (franchising) dapat dikemukakan bahwa perjanjian itu sebenarnya merupakan pengembangan dari bentuk kerjasama (syirkah). Hal ini disebabkan karena dengan adanya perjanjian franchising, maka secara otomatis antara franchisor dan franchisee terbentuk hubungan kerja sama untuk waktu tertentu (sesuai dengan perjanjian). Kerja sama tersebut dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan bagi kedua belah pihak. Dalam waralaba diterpkan prinsip keterbukaan dan kehati-hatian, hal ini sesuai dengan prinsip transaksi dalam Islam yaitu gharar (ketidakjelasan).
Bisnis waralaba ini pun mempunyai manfaat yang cukup berperan dalam meningkatkan pengembangan usaha kecil. Dari segi kemashlahatan usaha waralaba ini juga bernilai positif sehingga dapat dibenarkan menurut hukum Islam.
  1. Perbandingan Antara Hukum Positif dengan Hukum Islam mengenai Bisnis Franchise
Setelah pemaparan yang panjang lebar mengenai franchising di atas, terdapat persamaan dan perbedaan franchising menurut hukum Islam dan hukum positif.
Persamaannya adalah Pertama, franchising adalah kerjasama (syirkah) yang saling menguntungkan, berarti franchising memang dapat dikatakan kategori dari syirkah dalam hukum Islam. Kedua, terdapat prestasi bagi penerima waralaba, hal ini sama dengan syirkah mudharabah muqayyadah. Ketiga, terdapat barang, jasa dan tenaga memenuhi salah satu syarat syirkah. Keempat, terdapat 2 orang atau lebih yang bertransaksi, sepakat, hal tertentu, ditulis (dicatat) dan oleh sebab tertentu sesuai dengan syarat akad, khususnya syirkah mudharabah.
Diatas telah dijelaskan bahwa franchising lebih hampir serupa dengan syirkah jenis mudharabah. Adapun perbedaannya terletak pada, Pertama, dalah syirkah mudharabah, modal harus berupa uang, tidak boleh barang. Sedangkan dalam franchising modal dapat dibantu oleh franchisor baik uang, barang atau tenaga professional. Kedua, dalam franchising terdapat kerja sama dalam bidang hak kekayaan intelektual (HAKI), yaitu merek dagang. Dan dalam hukum Islam hal tersebut termasuk syirkah amlak (hak milik).
Ketiga, tidak bolehnya kerja sama dalam hal berjualan barang haram, sedangkan dalam hukum positif tidak terdapat pembatasan terhadap hal tersebut, misal transaksi jual-beli barang najis dan memabukkan, seperti babi dan miras.
 
Kesimpulan
Pada dasarnya Franchisee adalah sebuah perjanjian mengenai metode pendistribusian barang dan jasa kepada konsumen. Franchisor dalam jangka waktu tertentu memberikan lisensi kepada franchisee untuk melakukan usaha pendistribusian barang atau jasa di bawah nama identitas franchisor dalam wilayah tertentu. Usaha tersebut harus dijalankan sesuai dengan prosedur dan cara yang ditetapkan oleh franchisor. Franchisor memberikan bantuan (assistance) terhadap franchise, sebagai imbalannya franchisee membayar sejumlah uang berupa initial fee dan royalty.
Kalau dalam hukum Islam, waralaba dengan model ini hampir serupa dengan model syirkah mudharabah (bagi hasil), tapi sudah mengalami perkembangan seiring berkembangnya zaman dan terdapat gabungan dengan jenis syirkah lainnya. Syirkah (persekutuan) dalam hukum Islam banyak sekali jenisnya dan terdapat perbedaan oleh para imam madzhab. Dan perlu diketahui bahwa dalam pola transaksi yang diatur oleh hukum Islam adalah menitikberatkan pada sisi moralitas yang lebih tinggi dari pada apapun


Selasa, 05 Oktober 2010, 10:10 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,TEL AVIV--Seorang rabbi Yahudi menghalalkan wanita Israel untuk tidur dengan musuh saat menjalankan tugas intelijen demi keamanan Israel. Surat kabar terkemuka Israel, Yediot Aharonot, mengutip artikel yang ditulis oleh seorang rabbi yang juga pakar hukum Yahudi, Ari Shvat.

Rabbi itu mengatakan, wanita Israel boleh berhubungan seks dengan teroris untuk mendapatkan informasi yang dapat mengarah pada penangkapan para teroris itu. Dalam tulisannya, dia mencontohkan seorang mata-mata wanita Israel yang tak disebutkan namanya. Dengan judul tulisan 'Seks terlarang untuk Menjaga Keamanan Nasional', tulisan itu dimuat di sebuah jurnal yang diterbitkan sebuah lembaga studi agama di blok pemukiman Gush Etzion dekat Yerussalem.

Mengambil kisah dari Alkitab di mana seorang wanita menggoda pasukan musuh untuk mendapatkan informasi berharga. Merunut dari kisah itu, dia berpendapat, hal terbaik bila misi tersebut dipercayakan kepada perempuan bermoral.

Sementara dalam kasus seorang wanita harus menikah dengan pasukan musuh agar bisa dipercaya oleh musuh itu, Shvat menyarankan wanita itu pertama harus menceraikan suami yang sesungguhnya. Saran-saran ini tampaknya diberikan untuk badan intelijen Mossad. Perbuatan seperti ini dinilai sebagai pengecualian dari larangan berhubungan seks di luar perkawinan yang diajarkan Yahudi.


Selasa, 05 Oktober 2010, 10:10 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,TEL AVIV--Seorang rabbi Yahudi menghalalkan wanita Israel untuk tidur dengan musuh saat menjalankan tugas intelijen demi keamanan Israel. Surat kabar terkemuka Israel, Yediot Aharonot, mengutip artikel yang ditulis oleh seorang rabbi yang juga pakar hukum Yahudi, Ari Shvat.

Rabbi itu mengatakan, wanita Israel boleh berhubungan seks dengan teroris untuk mendapatkan informasi yang dapat mengarah pada penangkapan para teroris itu. Dalam tulisannya, dia mencontohkan seorang mata-mata wanita Israel yang tak disebutkan namanya. Dengan judul tulisan 'Seks terlarang untuk Menjaga Keamanan Nasional', tulisan itu dimuat di sebuah jurnal yang diterbitkan sebuah lembaga studi agama di blok pemukiman Gush Etzion dekat Yerussalem.

Mengambil kisah dari Alkitab di mana seorang wanita menggoda pasukan musuh untuk mendapatkan informasi berharga. Merunut dari kisah itu, dia berpendapat, hal terbaik bila misi tersebut dipercayakan kepada perempuan bermoral.

Sementara dalam kasus seorang wanita harus menikah dengan pasukan musuh agar bisa dipercaya oleh musuh itu, Shvat menyarankan wanita itu pertama harus menceraikan suami yang sesungguhnya. Saran-saran ini tampaknya diberikan untuk badan intelijen Mossad. Perbuatan seperti ini dinilai sebagai pengecualian dari larangan berhubungan seks di luar perkawinan yang diajarkan Yahudi.


Prinsip Dasar Etika Bisnis
            Memaksimalkan keuntungan merupakan tema penting ilmu manajemen ekonomi. Ekonomi terapan justru mencapai coraknya sebagai ilmu yang sistematis dan memilki kerangka logis yang ketat karena hanay memandang keuntunga sebagai tujuan perusahaan melewati semua tujuan lain yang mungkin.
            Namun, apabila keuntungan menjadi tujuan utama bisnis akan menjadikan bisnis tersebut menjadi tidak etis. Mengapa begitu? Kita ambil saja dari masalah karyawan. Mau tidak mau pebisnis pasti membutuhkan karyawan demi mencapai tujuan yang diinginkannya. Apabila tujuan yang ingin dicapai adalah keuntungan dan keuntungan saja, semua karyawan akan dikerahkan demi tecapainya keuntungan yang maksimal. Akan tetapi memperalat karyawan demi alasan apapun bisa dikatakan melanggar prinsip etis yang paling mendasar. Immanuel Kant, filsuf Jerman abad ke-18, telah melihat bahwa menghormati martabat manusia sama saja dengan memperlakukannya  sebagai tujuan. Menurut dia, prinsip etis yang paling mendasar dapat dirumuskan sebagai berikut: ”Hendaklah memperlakukan manusia selalu juga sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagi sarana belaka”.
            Dalam macam-macam situasi, seorang manusia dipakai demi tercapai tujuan orang lain. Misalnya seorang direktur menggunakan sekretarisnya demi tujuannya. Demikian pula semua karyawan di suatu perusahaan, mereka dipekerjakan demi merealisasikan tujuan perusahaan. Namun, disamping membantu mencapai tujuan perusahaan, karyawan tidak hanya diperlakukan sebagai ”saran” belaka. Mereka tidak boleh dimanfaatkan semata-mata untuk mencapai tujuan. Mereka juga harus dipekerjakan dalam kondisi kerja yang aman dan sehat serta diberikan gaji yang pantas.
           

Dimensi Moral Dalam Bisnis
            Jika kita berbicara mengenai maksimalisasi keuntungan, hal itu tidak perlu dimengerti secara konkret sampai meliputi semua seluk beluk tentang kegiatan ekonomis, apalagi bertentangan dengan moral. Namun kita juga tidak boleh melupakan masa lampau. Pada era awal industrialisasi para pekerja di peralat dan diperas sedemikian rupa dengan cara yang sangat tidak manusiawi. Pada saat itu mesin-mesin dijalankan oleh para buruh murah yang berasal dari daerah pertanian yang miskin. Keadaan ini pertama muncul di Inggris pada abad ke-18 pada bidang tekstil dan pertambangan batu bara..
            Untuk memaksimalkan keuntungan, tenaga para buruh diperas begitu saja tanpa memperhatikan kesejahteraan maupun kesehatan mereka. Mereka dipekerjakan sepanjang hari dengan upah yang sangat rendah, tanpa jaminan kesehatan. Sehingga apabila mereka jatuh sakit, ia sering diberhentikan. Tidak hanya dalam keadaan sakit saja, mereka juga sering diberhentikan semena-mena. Sebagian besar buruh yang dipekerjakan justru adalah buruh wanita dan anak-anak dibawah umur karena mereka tidak mudah memberontak.
            Studi sejarah menunjukkan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai usaha ekonomis memang bisa membawa akibat kurang etis. Hal itu sungguh berlangsung dala kapitalisme liberal yang melatarbelakangi industrialisasi modern di Inggris dan negara-negara barat lainnya. Melalui perjuangan panjang dan berat, dinegara-negara industri tersebut kini hak-hak kaum buruh sudah diakui dan apabila timbul kesulitan selalu tersedia mekanisme perundingan untuk mengatasinya. Tidak hanya di negara-negara maju saja, buruh mendapatkan hak-hak nya. Di negara yang industrialisasinya masih bekembang pun juga telah berusaha menghindari pengalaman sejarah perindustrialisasi kapiltalisme liberal yang kelam tersebut dengan menciptakan undang-undang perburuhan yang baik, kebebasan serikat serikat buruh, jaminan sosial, asuransi kesehatan dan sebagainya.
            Maksimalisasi keuntungan sebagai sebuah model ekonomis yang abstrak bisa saja mengakibatkan ketidakberesan etis yang baru. Bahwa kualitas etisnya disini tidak selalu gampang dinilai dengan tepat, dapat kita pelajari dengan meninjau masalah buruh anak.
            Kita ambil saja masalah buruh anak yang terjadi di Indonesia yang sempat menjadi pembahasan etika bisnis di Amerika. Pada tahun 1993, salah satu majalah etika bisnis yang terkemuka di Amerika mengemukakan kasus sebagai berikut. Dari data-data yang disajikan oleh pengarang dapat disimpulkan bahwa kasus ini terjadi beberapa waktu sebelum 1985. tidak dijelaskan tempat kejadiannya di Indonesia bagian mana. ”Kasus ini...menyangkut seorang pembeli pakaian dari seorang pengecer yang berkedudukan di Boston. Orang ini membeli celana jeans yang dicuci dalam bahan asam. Pengecer itnu mampunyai pelbagai pemasok dari Asia timur. Pada suatu perjalanan pembelian ia memperhatikan bahwa dalam pabrik di Indonesia yang dikunjunginya hanya bekerja anak-anak yang relatif muda. Ia berfikir disini barangkali terdapat suatu masalah etis mengenai eksploitasi dari anak-anka muda dan diskriminasi terhadap pekerja yang lebih tua. Ia bertanya kepada manajer pabrik mengapa begitu banyak anak muda bekerja dalam pabrik yang mereka kunjungi. Ia terheran-heran mendngar jawabannya. Manajer parik itu bercerita bahwa sebenarnya ia ingin menahan para pekerja, bila mereka menjadi lebih tua, tetapi bahwa bahan asam yang mereka hirup selama 12 jam sehari mengakibatikan penyakit paru-paru dan otak yang menghalangi anak-anak itu bekerja lagi setelah beberapa tahun. Si pembeli mendengarkan, tidak bilang apa-apa, dan kembali ke Boston. Kecenderungan yang pertama adalah memindahkan pembeliannya kepada seorang pemasok lain yang bisa memberi harga murah dan bisa dipercaya”.
            Pembeli Amerika itu terutama merasa prihatin karena anak-anak Indonesia harus menderita dalam memproduksi jeans yang dipakai oleh anak muda di Amerika. Pengarang menjelaskan lagi bahwa perusahaan itu milik perusahaan patungan suatu negara TiongHoa dan Jenderal TNI yang tinggal jauh dari pebrik yang lebih berminat untuk keuntunganya daripada kondisi kerja para pekerja. Pembeli Boston hanya berurusan dengan manajer pabrik akhirnya berhasil dengan usulannya memasang sistem ventilasi dalam pabrik itu dan pabrik-pabrik lainnya dari perusahaan yang sama sehingga dapat memperbaiki kondisi kerja.
            Ada dua alasan utama yang menjadi argumen terhadap penolakan terhadap pekerja anak dibawah umur. Yang pertama adalah bahwa pekerjaan itu melanggar hak para anak. Anak-anak yang seharusnya masih belajar dan bermain saja diambil haknya demi maksimalisasi keuntungan dalam bisnis. Selain itu sebagian alasan mempekerjakan anak-anak di bawah umur adalah untuk menekan biaya produksi. Makadari itu anak-anak berhak utnuk dilindungi terhadap segala eksploitasi , karena mereka belum mampu membela dirinya sendiri.
            Yang kedua adalah bahwa memepekerjakan anak-anak merupakan cara berbisnis yang tidak fair. Sebab, dengan cara itu pebisnis berusaha menekan biaya produksi dan dengan demikian secara otomatis ia masuk ke dalam kompetisi yang kurang fair terhadap rekan-rekan bisnis yang tidak mau menggunakan pekerja anak karena menganggap hal tersebut tidak etis.
            Namun, apakah dengan tidak mempekerjakan semua pekerja anak tersebut, kehidupan mereka akan menjadi lebih baik? Belum tentu, justru mereka bisa menjadi anak jalanan atau bahkan budak seks. Jalan tengahnya mereka tetap boleh dipekerjakan, asalkan dalam kondisi kerja yang aman dan sehat.


Keuntungan dan Etika Bisnis
            Keuntungan dan bisnis merupakan hal yang tidak dapat terpisahkan dalam dunia bisnis pada saat ini. Secara langsung maupun tidak etika membatasi peranan keuntungan dalam bisnis. Keuntungan tidak dapat dijadikan satu-satunya tujuan dalam bisnis. Seandainya keuntungan menjadi satu-satunya tujuan dalam bisnis, dengan sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis. Hal ini kana membuat pebisnis mudah tergoda untuk menempuh jalan pintas guna mencapai keuntungan yang semaksimal mungkin dengan cara yang lebih cepat dan lebih mudah.
            Apabila perolehan keuntungan menjadi tujuan mutlak suatu bisnis tanpa memeperhatikan segi moral lagi, bisnis ini menjadi tidak etis. Misalnya saja bisnis narkotika atau heroin. Bisnis seperti ini  bisa dikatakan good business karena sangat menjanjikan laba yang besar. Namun apabila bisnis ini dihadapkan pada pertimbangan etika dalam bisnis, apakah masih bisa dikatakan sebagai good business lagi? Tentu saja hal tersebut akan sangat bertentangan, bisnis narkotika atau heroin seperti ini justru bukan merupakan good business sama sekali.
            Good business bukanlah bisnis yang menghasilkan profit yang banyak tanpa memperhatikan  segi etis atau tidaknya. Manajeman modern sering disifatkan management by objectives. Manajemen yang ingin berhasil harus menentukan dengan tujuan-tujuan yang mau dicapai. Dan dalam manajemen ekonomi salah satu unsur penting adalah cost-benefit analysis. Supaya dapat mencapai sukses, hasil dalam suatu usaha bisnis harus melebihi biaya yang dikeluarkan. Semuanya ini bisa diterima, asal tetap disertai pertimbangan etis. Bisnis menjadi tidak etis, jika keuntungan dijadikan satu-satunya objective atau benefit dimengerti sebagai laba belaka dengan mengorbankan semua faktor lain. Sekali lagi harus diingat bagaimana sejarah industrialisasi menunjukkan kemungkinan itu sebagai bahaya yang bukan imajiner saja.
            Di satu pihak profit memang tujuan dari bisnis, bisnis tanpa keuntungan bukanlah bisnis. Agar bisnis tersebut dapat berjalan sesuai dengan etika, tidak perlu mengubah bisnis tersebut menjadi sebuah karya amal dengan menghilangkan profit. Bagaimanapun juga, keuntungan merupakan unsur hakiki dalam bisnis. Namun, di sisi lain, profit tidak boleh dimutlakan. Maksimalisasi keuntungan sebagai satu-satunya tujuan perusahaan akan mengakibatkan kondisi yang tidak etis. Dalam hal ini sistem ekonomi pasar membantu, agar keuntungan menjadi eksesif. Karena sistem ini ditandai kompetensi antar perusahaan sehingga tidak memungkinkan adanya monopoli dan akan menciptakan tingkat keuntungan dengan sendirinya.
            Namun, bisnis juga tidak menghadapi suatu dilema antara etika dan keuntungan, seperti memaksimalkan keuntungan atau bangkrut. Masih banyak kemungkinan yang dapat menengahi keduanya. Keuntungan dala bisnis bersifat relatif. Dengan cara yang berbeda-beda, banyak pengarang yang telah mencoba merumuskan relativitas tersebut. Ronald Duska menegaskan bahwa kita harus membedakan antara purpose(maksud) dan motive(motivasi). Maksud bersifat obyektif, sedangkan motivasi bersifat subyektif. Misalnya ketika kita memberi sedekah kepada seorang pengemis agar is bisa makan (maksud), sedangkan motivasi kita adalah belas kasihan. Motivasi menjelaskan (explain) mangapa kita melakukan sesuatu, tetapi maksud membenarkan (justify) perbuatan kita itu.
            Keuntungan bukan merupakan maksud bisnis. Maksud bisnis adalah menyediakan produk atau jasa yang bermanfaat untuk masyarakat. Keuntungan hanay sekedar motivasi untuk mengadakan bisnis. Maksimalisasi keuntungan keuntungan merupakan tujuan bisnis atau bahwa profit merupakan satu-satunya tujuan bagi bisnis. Beberapa cara lain untuk melukiskan relativitas keuntungan dalam bisnis;
§ Keuntungan merupakan tolok ukur untuk menilai kesehatan perusahaan atau efisiensi manajemen dalam perusahaan;
§ Keuntungan adalah pertanda yang menunjukkan bahwa produk atau jasanya dihargai oleh masyarakat;
§ Keuntungan adalah cambuk untuk meningkatkan usaha;
§ Keuntungan merupakan syarat kelangsungan perusahaan;
§ Keuntungan mengimbangi resiko dalam usaha.


Pendekatan Stakeholders
            Suatu cara lain untuk mendekati tujuan bisnis adalah melalui pendekatan stakeholders dengan melukiskan tujuan itu sebagai the stakeholders’ benefit atau manfaat bagi stakeholders. Yang dimaksud stakeholders adalah orang atau instansi yang berkepentingan dalam suatu bisnis atau perusahaan. Jadi semua orang yang dipengaruhi dan akan mempengaruhi tercapainya tujuan perusahaan. Stokholders termasuk juga dalam stakeholders, selain itu banyak piahak lain yang berkepentingan juga dengan aktivitas suatu perusahaan. Seperti, para manajer, karyawan, pemasok konsumen, masyarakt  disekitar pabrik dan sebagainya.
            Melalui pendekatan stakeholders, bisa dikatakan tujuan perusahaan adalah manfaat semua stakeholders, sekaligus jusa mempunyai kemungkinan baru untuk  membahas segi etis dari suatu keputusan bisnis. Misalnya tidak etis kalau dalam suatu keputusan bisnis hanya kepentingan pemegang saham yang dipertimbangkan. Misalnya keputusan untuk menutup atau memindahkan suatu unit produksi, keputusan ini mengandung implikasi etis yang penting. Bukan saja kepentingan para pemegang saham harus dipertimbangkan, tapi juga kepentingan dari semua pihak lain, khususnya para karyawan dan masyarakat disekitar pabrik.


Seems like yesterday
When the wall in my heart falls down
Crumbles deep inside
I don’t care how loud I’ve cried
For every little inch of my heart
Which love you
Now it’s all broken

Once again I dig a big hole
To buried this broken vow
make another forever scar
with never ending pain

I close my eyes tightly
All memories of you revolves in my mind
your promises still I smell in my heart
so clear and calming
your voices still echoing in my ears
I swear I see you smile to me
I love you forever
But now it’s over
I don’t know what to do

Once again I close my heart
Keep my feeling deep inside
This intersection is all gone
All I face is just your shadow
That reminds me how much I love you
But now it’s over

Just an emptiness
That hugs me with its cold
That hiding its blades
To stab my heart
And tears me up

dea
Moanday, august 9th 2010



Wa tiini wa zaitun
 It is a story of the holy land
That has been colonized by Zionism
Where the children sing the sound of bombs, and guns
Where the rivers has become red of blood
Where the sky is all plums of ash
There’s so much you have to see

This is not their story!
This is our story!

Do you close your eyes?
To see those mothers have no milk to feed their children
While you can suck milk from the jars of Zionist
those children grow to see violence over their mother
strengthen by death of their father
stand up to see the Zionist soldiers shoot missiles trough their brother’s body
while you were made busy with valentine’s prom night
but they will fight for freedom, will never surrender
there’s so much you have to understand

by the rivers that is clear no more
that shed the blood of syuhada
that bring the shoes without legs to the day of freedom
that flow the spirit of ‘real soldier’
that spread the energy of jihad
this is your story,
this is our story!

There’s so much you have to see
There’s so much you have to hear
There’s so much you have to understand
From the land of Palestine