RED CLAUSE LETTER OF
CREDIT
Red Clause Letter of Credit adalah alat bayar yang berupa surat
kredit yang diterbitkan oleh Bank (Issuing Bank) dari Pembeli di Luar Negeri
(Importir), yang berisi Perintah pembayaran terlebih dahulu maksimal sebesar 80%
dari Issuing Bank di Luar Negeri kepada Negotiating Bank didalam negeri, dimana
Eksportir belum melakukan aktivitas ekspor sama sekali, (L/C ini merupakan
pembayaran uang muka dari Importir (down payment) kepada Eksportir), L/C
tersebut sangat likuid berlaku di perbankan, karena semua resiko telah ditanggung
oleh Bank Penerbit di Luar Negeri dan pasti dibayar sesuai waktu yang telah
ditentukan.
Dalam Red Clause L/C, pendiskontoan 80% dapat dilakukan oleh Eksportir
tanpa harus melakukan aktivitas ekspor terlebih dahulu, karena perlakuan dalam L/C
tersebut adalah sangat Khusus, yaitu Eksportir & Importir telah berulang
kali melakukan transaksi ekspor, Sehingga timbul kepercayaan yang tinggi dari
Importir kepada Eksportir dan biasanya antara Bank kedua belah pihak telah
melakukan korespondensi terlebih dahulu. Sedangkan pelunasan 100% akan
dilakukan oleh Negotiating Bank, apabila Eksportir telah selesai melakukan
pengiriman ekspornya dengan menyerahkan dokumen-2 pengirimannya ke Negotiating
Bank. Alat Bayar lainnya yang diatur dalam undang-undang International yaitu,
Kartu Kredit (Credit Card), dimana dengan Kartu kredit para pemegangnya dapat
melakukan transaksi pembayaran dengan semua pihak yang menjadi Holder dari Bank
Penerbit Kartu Kredit tersebut, baik didalam negeri maupun di luar negeri. Dan
selain daripada itu mempunyai fungsi yang lain, yaitu untuk mengambil UANG
TUNAI/CASH sebesar yang tercantum dalam credit limit kartu kredit tersebut.
Secara umum perlakuan verifikasi dari Credit Card dan Letter of Credit
adalah sama, yaitu penjual atau bank penjual melakukan verifikasi/authorifikasi
kepada Bank Penerbit (Issuing Bank), sehingga penjual atau Bank penjual dapat
aman melakukan pembayaran terlebih dahulu kepada pemegang L/C atau pemegang kartu
kredit tersebut.
ANALOGI
Untuk memperjelas permasalahan hukum
yang terjadi dalam kasus pembobolan Bank BNI Cabang Kebayoran Baru dengan menggunakan
L/C Fiktif, maka kami mencoba membuat suatu illustrasi sederhana dengan contoh
kasus dalam pemakaian transaksi yang menggunakan alat pembayaran kartu kredit
- Pemilik Kartu Kredit sebelum menerima Kartu Kredit akan menandatangani kesepakatan antara dia dengan Issuing Bank, berupa perjanjian tertulis.
- Antara Holder/Toko dan bank Pemberi alat authorifikasi/verifikasi, juga membuat kesepakatan ke dua atas penggunaan alat online tersebut, agar alat tersebut digunakan sebagai ketentuan-ketentuan yang ada.
- Pemilik Kartu Kredit sedang berbelanja disebuah toko, yang mana dia sedang membeli barang elektronik seharga Rp 2.500.000,- , tetapi kemudian teringat membutuhkan uang cash sebesar Rp. 500.000, karena tidak akan sempat ke ATM, untuk mengambil tunai dengan Kartu Kredit tersebut, maka dia meminta tolong kepada pemilik toko, agar kwintansi dalam barang tersebut dibuat Rp 3.000.000,- dimana yang Rp.500.000 dia minta secara TUNAI atau CASH dan yang Rp 2.500.000 berupa barang yang dia beli.
- Pasti pemilik toko akan memperbolehkan setelah melakukan verifikasi atau authorifikasi kepada Bank Penerbit Kartu Kredit, Dan Bank Penerbit akan memperbolehkan selama saldo yang ditetapkan kepada Pemilik Kartu Kredit masih mencukupi, sedangkan untuk melakukan verifikasi atau authorifikasi tidak perlu menggunakan telpon, tetapi cukup menggunakan suatu alat online yang telah disepakati dan disetujui sebagai alat verifikasi dan ini berlaku seluruh dunia, sebagai suatu kesepakatan Internasional.
- Pada saat jatuh tempo pembayaran kartu kredit, maka pemilik kartu kredit akan ditagih oleh Bank sebesar Rp. 3.000.000 atas transaksi pembelian barang, bukan terpisah dua transaksi yaitu atas Rp.2.500.000 pembelian barang dan Rp.500.000 uang cash. Selama tidak ada complain dari salah satu pihak, maka transaksi tersebut sah-sah saja dan harus dibayar pada saat jatuh tempo.
- Apakah pada kwintansi tersebut yang tertulis pembelian barang sebesar Rp.3.000.000 adalah dokumen fiktif, dimana semua pihak yang terlibat menyepakati dan menyetujui, yaitu pembeli, penjual, issuing bank & negotiating bank, bahwa harga barang tersebut adalah Rp. 3.000.000,- dan pembayarannyapun akan dilakukan yaitu sebesar Rp,.3.000.000,- ditambah premi, dll oleh pemilik kartu kredit kepada Issuing Bank.
Pada kasus L/C fiktif bank BNI yang dituduhkan, modus operandi
yang dilakukan hampir sama, dengan Kartu Kredit tersebut, yaitu sebagai berikut
:
Antara Penjual ( Eksportir ) & Pembeli ( Importir ), Issuing
Bank, Advising Bank & Negotiating Bank telah terjadi kesepakatan terlebih dahulu,
sebagai berikut :
I.
KESEPAKATAN MULTILATERAL /
INTERNATIONAL :
·
Kesepakatan harga, volume,
waktu pengiriman dan spesifikasi barang yang akan dibeli.
·
Macam L/C yang diterbitkan,
persyaratan pencairan didalam L/C, tgl diterbitkan, tanggal kadaluarsa.
·
Bank yang akan menerbitkan L/C
adalah koresponden dari Bank Penjual didalam negeri atau harus ada Bank
Penjamin didalam negeri (Advising Bank) apabila bukan koresponden bank,
sehingga dengan adanya Advising Bank, maka Negotiating Bank dapat melakukan
pendiskotoan L/C tersebut sesuai konvensi yaitu UCP.500.
·
Penerbitan dan kemudian
pengiriman L/C harus menggunakan alat verifikasi yang telah disetujui oleh
dunia internasional yaitu SWIFT dengan Message Type .700, sehingga L/C tersebut
dikatakan GENUINE (benar, baik, betul, akurat dan dapat dipercaya).
II.
KESEPAKATAN NASIONAL / DALAM
NEGERI :
·
Eksportir atau penjual
barang, telah conform dengan Banknya bahwa negotiating bank yang akan digunakan
adalah sesuai dengan L/C yang akan dikirim oleh Importir lewat Issuing Bank.
·
Eksportir dan Bank didalam
negeri telah terjadi kesepakatan untuk melakukan pendiskontoan L/C yang akan
diterima, setiap bank mempunyai aturan yang berbeda dalam rangka pendiskontoan L/C
ekspor tersebut, tapi yang sama adalah, bahwa Bank mempuinyai HAK REGRES, yaitu
hak yang dipunyai oleh Bank di dalam negeri, yaitu apabila Issuing Bank atau
Importir tidak membayar kepada Negotiating Bank, karena pendiskontoan yang
telah dilakukan, dengan alasan apapun, maka Negotiating Bank dapat meminta pelunasan
pembayaran kepada Nasabahnya atau eksportir yang dimaksud.
·
Pendiskontoan L/C ekspor,
sama halnya dengan perjanjian kredit pada umumnya, pada saat terjadi
wanprestasi di Luar negeri (Issuing Bank), maka berlakulah hukum Nasional di Indonesia,
yaitu perjanjian Kredit pada umumnya, dan masuk dalam lingkup HUKUM PERDATA.
·
Apakah penggunaan yang tidak
sesuai tentang pemakaian hasil pendiskontoan atau hasil pencairan kredit adalah
suatu tindakan PIDANA? dalam hal ini Tindakan Pidana Korupsi sesuai UU
No.31/1999 jo UU.No.20/2001.
·
Dalam perjanjian Kredit atau
pendiskotoan L/C tersebut, Bank pada umumnya telah melakukan prinsip kehati-hatian
bank, yaitu meninjau usaha, menilai asset sebagai jaminan pembayaran, sehingga
apabila terjadi wanprestasi, Bank tetap aman untuk menerima pengembalian dana
yang telah dicairkan kepada nasabah, baik berupa kredit atau pendiskontoan L/C.
·
Dokumen Pendukung disini
adalah seolah-olah telah atau akan terjadi pengiriman barang dengan menggunakan
Bill of Lading, & dokumen lainnya yang diminta dalam L/C, dikarenakan
antara Importir dan Eksportir dan juga antara Issuing Bank & Negoriating
Bank, sudah terjadi kesepakatan, maka pembayaran tetap dilakukan pada saat
jatuh tempo (terbukti dari total 82 slip L/C, hanya 37 Slip L/C yang belum
dibayar, itupun karena dikasus pidanakan oleh BNI
KESIMPULAN
Pada kartu kredit terdapat dokumen pendukung yaitu kwitansi yang
seolah-olah harga barang adalah Rp 3.000.000,- sedangkan pada L/C seolah-olah
telah atau akan ada pengiriman dengan dokumen yang disepakati di dalam L/C. Dikarenakan
kesepakatan-2 diatas telah terjadi maka, terjadilah Pendiskontoan L/C Ekspor oleh
Bank BNI terhadap Gramarindo Group, didalam pelaksanaannya tidak pernah terjadi
masalah, yaitu sejak bulan September 2002 sampai dengan Agustus 2003, Bank diluar
negeri sebagai Issuing Bank, yang menerbitkan L/C tersebut tetap membayar
kepada Bank BNI atas pendiskontoan L/C yang telah dilakukan terlebih dahulu dan
karena pembayarannya dalam US Dollar, maka pembayaran selalu melewati
perjanjian Internasional, yaitu BANK SENTRAL di NEW YORK.
Tetapi setelah diketahui oleh Satuan Intern Pengawas Bank BNI, bahwa
terjadi kesalahan prosedur untuk pendiskontoan L/C tersebut, maka Bank BNI atas
sepengetahuan direksi di kantor Pusat, menyetujui dibuat AKTE PENGAKUAN HUTANG
atas total pendiskontoan L/C yang terjadi dan masih ditambah dengan Borgtogh oleh
Owner dan Konsultan Investasi Sagared Group. Yang sebenarnya bahwa APU tersebut
adalah sama dengan Letter of Indemnity partial yang terlampir per slip L/C yang
menyangkut HAK REGRES, yang kemudian direkapitulasi menjadi total angka didalam
APU dengan tambahan jaminan/collateral saja.