Prinsip Dasar Etika Bisnis
            Memaksimalkan keuntungan merupakan tema penting ilmu manajemen ekonomi. Ekonomi terapan justru mencapai coraknya sebagai ilmu yang sistematis dan memilki kerangka logis yang ketat karena hanay memandang keuntunga sebagai tujuan perusahaan melewati semua tujuan lain yang mungkin.
            Namun, apabila keuntungan menjadi tujuan utama bisnis akan menjadikan bisnis tersebut menjadi tidak etis. Mengapa begitu? Kita ambil saja dari masalah karyawan. Mau tidak mau pebisnis pasti membutuhkan karyawan demi mencapai tujuan yang diinginkannya. Apabila tujuan yang ingin dicapai adalah keuntungan dan keuntungan saja, semua karyawan akan dikerahkan demi tecapainya keuntungan yang maksimal. Akan tetapi memperalat karyawan demi alasan apapun bisa dikatakan melanggar prinsip etis yang paling mendasar. Immanuel Kant, filsuf Jerman abad ke-18, telah melihat bahwa menghormati martabat manusia sama saja dengan memperlakukannya  sebagai tujuan. Menurut dia, prinsip etis yang paling mendasar dapat dirumuskan sebagai berikut: ”Hendaklah memperlakukan manusia selalu juga sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagi sarana belaka”.
            Dalam macam-macam situasi, seorang manusia dipakai demi tercapai tujuan orang lain. Misalnya seorang direktur menggunakan sekretarisnya demi tujuannya. Demikian pula semua karyawan di suatu perusahaan, mereka dipekerjakan demi merealisasikan tujuan perusahaan. Namun, disamping membantu mencapai tujuan perusahaan, karyawan tidak hanya diperlakukan sebagai ”saran” belaka. Mereka tidak boleh dimanfaatkan semata-mata untuk mencapai tujuan. Mereka juga harus dipekerjakan dalam kondisi kerja yang aman dan sehat serta diberikan gaji yang pantas.
           

Dimensi Moral Dalam Bisnis
            Jika kita berbicara mengenai maksimalisasi keuntungan, hal itu tidak perlu dimengerti secara konkret sampai meliputi semua seluk beluk tentang kegiatan ekonomis, apalagi bertentangan dengan moral. Namun kita juga tidak boleh melupakan masa lampau. Pada era awal industrialisasi para pekerja di peralat dan diperas sedemikian rupa dengan cara yang sangat tidak manusiawi. Pada saat itu mesin-mesin dijalankan oleh para buruh murah yang berasal dari daerah pertanian yang miskin. Keadaan ini pertama muncul di Inggris pada abad ke-18 pada bidang tekstil dan pertambangan batu bara..
            Untuk memaksimalkan keuntungan, tenaga para buruh diperas begitu saja tanpa memperhatikan kesejahteraan maupun kesehatan mereka. Mereka dipekerjakan sepanjang hari dengan upah yang sangat rendah, tanpa jaminan kesehatan. Sehingga apabila mereka jatuh sakit, ia sering diberhentikan. Tidak hanya dalam keadaan sakit saja, mereka juga sering diberhentikan semena-mena. Sebagian besar buruh yang dipekerjakan justru adalah buruh wanita dan anak-anak dibawah umur karena mereka tidak mudah memberontak.
            Studi sejarah menunjukkan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai usaha ekonomis memang bisa membawa akibat kurang etis. Hal itu sungguh berlangsung dala kapitalisme liberal yang melatarbelakangi industrialisasi modern di Inggris dan negara-negara barat lainnya. Melalui perjuangan panjang dan berat, dinegara-negara industri tersebut kini hak-hak kaum buruh sudah diakui dan apabila timbul kesulitan selalu tersedia mekanisme perundingan untuk mengatasinya. Tidak hanya di negara-negara maju saja, buruh mendapatkan hak-hak nya. Di negara yang industrialisasinya masih bekembang pun juga telah berusaha menghindari pengalaman sejarah perindustrialisasi kapiltalisme liberal yang kelam tersebut dengan menciptakan undang-undang perburuhan yang baik, kebebasan serikat serikat buruh, jaminan sosial, asuransi kesehatan dan sebagainya.
            Maksimalisasi keuntungan sebagai sebuah model ekonomis yang abstrak bisa saja mengakibatkan ketidakberesan etis yang baru. Bahwa kualitas etisnya disini tidak selalu gampang dinilai dengan tepat, dapat kita pelajari dengan meninjau masalah buruh anak.
            Kita ambil saja masalah buruh anak yang terjadi di Indonesia yang sempat menjadi pembahasan etika bisnis di Amerika. Pada tahun 1993, salah satu majalah etika bisnis yang terkemuka di Amerika mengemukakan kasus sebagai berikut. Dari data-data yang disajikan oleh pengarang dapat disimpulkan bahwa kasus ini terjadi beberapa waktu sebelum 1985. tidak dijelaskan tempat kejadiannya di Indonesia bagian mana. ”Kasus ini...menyangkut seorang pembeli pakaian dari seorang pengecer yang berkedudukan di Boston. Orang ini membeli celana jeans yang dicuci dalam bahan asam. Pengecer itnu mampunyai pelbagai pemasok dari Asia timur. Pada suatu perjalanan pembelian ia memperhatikan bahwa dalam pabrik di Indonesia yang dikunjunginya hanya bekerja anak-anak yang relatif muda. Ia berfikir disini barangkali terdapat suatu masalah etis mengenai eksploitasi dari anak-anka muda dan diskriminasi terhadap pekerja yang lebih tua. Ia bertanya kepada manajer pabrik mengapa begitu banyak anak muda bekerja dalam pabrik yang mereka kunjungi. Ia terheran-heran mendngar jawabannya. Manajer parik itu bercerita bahwa sebenarnya ia ingin menahan para pekerja, bila mereka menjadi lebih tua, tetapi bahwa bahan asam yang mereka hirup selama 12 jam sehari mengakibatikan penyakit paru-paru dan otak yang menghalangi anak-anak itu bekerja lagi setelah beberapa tahun. Si pembeli mendengarkan, tidak bilang apa-apa, dan kembali ke Boston. Kecenderungan yang pertama adalah memindahkan pembeliannya kepada seorang pemasok lain yang bisa memberi harga murah dan bisa dipercaya”.
            Pembeli Amerika itu terutama merasa prihatin karena anak-anak Indonesia harus menderita dalam memproduksi jeans yang dipakai oleh anak muda di Amerika. Pengarang menjelaskan lagi bahwa perusahaan itu milik perusahaan patungan suatu negara TiongHoa dan Jenderal TNI yang tinggal jauh dari pebrik yang lebih berminat untuk keuntunganya daripada kondisi kerja para pekerja. Pembeli Boston hanya berurusan dengan manajer pabrik akhirnya berhasil dengan usulannya memasang sistem ventilasi dalam pabrik itu dan pabrik-pabrik lainnya dari perusahaan yang sama sehingga dapat memperbaiki kondisi kerja.
            Ada dua alasan utama yang menjadi argumen terhadap penolakan terhadap pekerja anak dibawah umur. Yang pertama adalah bahwa pekerjaan itu melanggar hak para anak. Anak-anak yang seharusnya masih belajar dan bermain saja diambil haknya demi maksimalisasi keuntungan dalam bisnis. Selain itu sebagian alasan mempekerjakan anak-anak di bawah umur adalah untuk menekan biaya produksi. Makadari itu anak-anak berhak utnuk dilindungi terhadap segala eksploitasi , karena mereka belum mampu membela dirinya sendiri.
            Yang kedua adalah bahwa memepekerjakan anak-anak merupakan cara berbisnis yang tidak fair. Sebab, dengan cara itu pebisnis berusaha menekan biaya produksi dan dengan demikian secara otomatis ia masuk ke dalam kompetisi yang kurang fair terhadap rekan-rekan bisnis yang tidak mau menggunakan pekerja anak karena menganggap hal tersebut tidak etis.
            Namun, apakah dengan tidak mempekerjakan semua pekerja anak tersebut, kehidupan mereka akan menjadi lebih baik? Belum tentu, justru mereka bisa menjadi anak jalanan atau bahkan budak seks. Jalan tengahnya mereka tetap boleh dipekerjakan, asalkan dalam kondisi kerja yang aman dan sehat.


Keuntungan dan Etika Bisnis
            Keuntungan dan bisnis merupakan hal yang tidak dapat terpisahkan dalam dunia bisnis pada saat ini. Secara langsung maupun tidak etika membatasi peranan keuntungan dalam bisnis. Keuntungan tidak dapat dijadikan satu-satunya tujuan dalam bisnis. Seandainya keuntungan menjadi satu-satunya tujuan dalam bisnis, dengan sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis. Hal ini kana membuat pebisnis mudah tergoda untuk menempuh jalan pintas guna mencapai keuntungan yang semaksimal mungkin dengan cara yang lebih cepat dan lebih mudah.
            Apabila perolehan keuntungan menjadi tujuan mutlak suatu bisnis tanpa memeperhatikan segi moral lagi, bisnis ini menjadi tidak etis. Misalnya saja bisnis narkotika atau heroin. Bisnis seperti ini  bisa dikatakan good business karena sangat menjanjikan laba yang besar. Namun apabila bisnis ini dihadapkan pada pertimbangan etika dalam bisnis, apakah masih bisa dikatakan sebagai good business lagi? Tentu saja hal tersebut akan sangat bertentangan, bisnis narkotika atau heroin seperti ini justru bukan merupakan good business sama sekali.
            Good business bukanlah bisnis yang menghasilkan profit yang banyak tanpa memperhatikan  segi etis atau tidaknya. Manajeman modern sering disifatkan management by objectives. Manajemen yang ingin berhasil harus menentukan dengan tujuan-tujuan yang mau dicapai. Dan dalam manajemen ekonomi salah satu unsur penting adalah cost-benefit analysis. Supaya dapat mencapai sukses, hasil dalam suatu usaha bisnis harus melebihi biaya yang dikeluarkan. Semuanya ini bisa diterima, asal tetap disertai pertimbangan etis. Bisnis menjadi tidak etis, jika keuntungan dijadikan satu-satunya objective atau benefit dimengerti sebagai laba belaka dengan mengorbankan semua faktor lain. Sekali lagi harus diingat bagaimana sejarah industrialisasi menunjukkan kemungkinan itu sebagai bahaya yang bukan imajiner saja.
            Di satu pihak profit memang tujuan dari bisnis, bisnis tanpa keuntungan bukanlah bisnis. Agar bisnis tersebut dapat berjalan sesuai dengan etika, tidak perlu mengubah bisnis tersebut menjadi sebuah karya amal dengan menghilangkan profit. Bagaimanapun juga, keuntungan merupakan unsur hakiki dalam bisnis. Namun, di sisi lain, profit tidak boleh dimutlakan. Maksimalisasi keuntungan sebagai satu-satunya tujuan perusahaan akan mengakibatkan kondisi yang tidak etis. Dalam hal ini sistem ekonomi pasar membantu, agar keuntungan menjadi eksesif. Karena sistem ini ditandai kompetensi antar perusahaan sehingga tidak memungkinkan adanya monopoli dan akan menciptakan tingkat keuntungan dengan sendirinya.
            Namun, bisnis juga tidak menghadapi suatu dilema antara etika dan keuntungan, seperti memaksimalkan keuntungan atau bangkrut. Masih banyak kemungkinan yang dapat menengahi keduanya. Keuntungan dala bisnis bersifat relatif. Dengan cara yang berbeda-beda, banyak pengarang yang telah mencoba merumuskan relativitas tersebut. Ronald Duska menegaskan bahwa kita harus membedakan antara purpose(maksud) dan motive(motivasi). Maksud bersifat obyektif, sedangkan motivasi bersifat subyektif. Misalnya ketika kita memberi sedekah kepada seorang pengemis agar is bisa makan (maksud), sedangkan motivasi kita adalah belas kasihan. Motivasi menjelaskan (explain) mangapa kita melakukan sesuatu, tetapi maksud membenarkan (justify) perbuatan kita itu.
            Keuntungan bukan merupakan maksud bisnis. Maksud bisnis adalah menyediakan produk atau jasa yang bermanfaat untuk masyarakat. Keuntungan hanay sekedar motivasi untuk mengadakan bisnis. Maksimalisasi keuntungan keuntungan merupakan tujuan bisnis atau bahwa profit merupakan satu-satunya tujuan bagi bisnis. Beberapa cara lain untuk melukiskan relativitas keuntungan dalam bisnis;
§ Keuntungan merupakan tolok ukur untuk menilai kesehatan perusahaan atau efisiensi manajemen dalam perusahaan;
§ Keuntungan adalah pertanda yang menunjukkan bahwa produk atau jasanya dihargai oleh masyarakat;
§ Keuntungan adalah cambuk untuk meningkatkan usaha;
§ Keuntungan merupakan syarat kelangsungan perusahaan;
§ Keuntungan mengimbangi resiko dalam usaha.


Pendekatan Stakeholders
            Suatu cara lain untuk mendekati tujuan bisnis adalah melalui pendekatan stakeholders dengan melukiskan tujuan itu sebagai the stakeholders’ benefit atau manfaat bagi stakeholders. Yang dimaksud stakeholders adalah orang atau instansi yang berkepentingan dalam suatu bisnis atau perusahaan. Jadi semua orang yang dipengaruhi dan akan mempengaruhi tercapainya tujuan perusahaan. Stokholders termasuk juga dalam stakeholders, selain itu banyak piahak lain yang berkepentingan juga dengan aktivitas suatu perusahaan. Seperti, para manajer, karyawan, pemasok konsumen, masyarakt  disekitar pabrik dan sebagainya.
            Melalui pendekatan stakeholders, bisa dikatakan tujuan perusahaan adalah manfaat semua stakeholders, sekaligus jusa mempunyai kemungkinan baru untuk  membahas segi etis dari suatu keputusan bisnis. Misalnya tidak etis kalau dalam suatu keputusan bisnis hanya kepentingan pemegang saham yang dipertimbangkan. Misalnya keputusan untuk menutup atau memindahkan suatu unit produksi, keputusan ini mengandung implikasi etis yang penting. Bukan saja kepentingan para pemegang saham harus dipertimbangkan, tapi juga kepentingan dari semua pihak lain, khususnya para karyawan dan masyarakat disekitar pabrik.


Leave a Reply