Pasar modal atau bursa efek adalah sebuah organisasi yang menyediakan fasilitas perdagangan untuk pialang efek dan pedagang efek untuk menjual saham, bond, dan sekuritas lainnya. Pasar modal butuh waktu berabad-abad untuk berkembang. Ide tentang hutang berjangka sendiri sudah ada sejak peradaban kuno, terbukti dengan adanya catatan lumpur peradaban kuno Mesopotamia mengenai bunga pinjaman. Sebagian Ilmuan setuju bahwa di masa inilah ketika organisasi pasar modal pertama kali memperdagangkan efek. Ada yang berpendapat peristiwa kuncinya adalah ketika Dutch East India Company diketemukan pada 1602. Ada juga yang berpendapat bahwa sudah ada sejak peradaban Romawi kuno.

Di Replubic Roman, yang telah ada sebelum kekaisaran ditemukan, sudah ada societas publicanorum, organisasi kontraktor dan pemberi leasing dalam pembangunan kuil dan pelayanan lain untuk pemerintah. Partisipan dalam organisasi seperti ini memiliki Partes atau saham, konsep ini beberapa kali disebut oleh negarawan dan orator Cicero. Di salah satu pidatonya Cicero mengatakan “saham yang bernilai paling tinggi saat ini”. Seperti bukti, meyarankan saham mana yang dapat diperdagangkan dengan nilai fluktuasi berdasarkan keberhasilan suatu perusahaan. Societas menjadi tidak lagi dikenal di masa kekaisaran, karena tugas mereka telah diambil alih oleh agen langsung pemerintah. 

Obligasi yang dapat diperdagangkan sebagai jenis sekuritas yang umum digunakan adalah inovasi yang baru, yang dipelopori oleh negara-negara kota di Italia-dari periode akhir Abad Pertengahan dan awal Renaissance. 

Pada 1171, pemerintah Republik Venesia mengkhawatirkan harta hasil perang mereka habis, kemudian mereka menarik pinjaman paksa dari warga. Hutang tersebut, yang dikenal sebagai prestiti, berbunga 5% per tahun dan memiliki jatuh tempo tidak terbatas. Awalnya hal ini dicurigai, tapi hal ini dilihat sebagai investasi berharga yang bisa dibeli dan dijual. Sejak saat inilah Pasar obligasi dimulai.

Seperti obligasi, konsep saham dikembangkan secara bertahap. Beberapa ahli berpendapat bahwa saham berasal dari Romawi kuno. Perjanjian Kemitraan membagi kepemilikan menjadi saham setidaknya ada sejak abad ke-13, lagi-lagi dengan negara-negara kota di Italia berada di barisan paling depan. Pengaturan demikian, biasanya hanya diberikan kepada segelintir orang dan durasinya terbatas, karena dengan pengiriman kemitraan yang diterapkan hanya untuk perjalanan laut tunggal.Inovasi komersial akhirnya bergeser dari Italia ke Eropa bagian utara. Liga Hanseatic, aliansi kota-kota niaga seperti Bruges dan Antwerp, dioperasikan menghitung rumah-rumah untuk mempercepat perdagangan. The "bursa," istilah yang telah menjadi identik dengan "pasar saham," muncul di Bruges, baik dari luar pusat perdagangan(bursa adalah bahasa Latin untuk kantong) atau karena pedagang berkumpul di rumah seorang pria bernama Van der Burse.

Pada 1500-an, pedagang Inggris yang bereksperimen dengan perusahaan saham gabungan dimaksudkan untuk beroperasi secara berkelanjutan, salah satunya adalah Perusahaan Muscovy, yang berusaha untuk merebut perdagangan dengan Rusia jauh dari dominasi Hanseatic. Langkah besar selanjutnya adalah di Amsterdam. Pada tahun 1602, Perusahaan Hindia Belanda Timur dibentuk sebagai perusahaan saham gabungan dengan saham yang mudah diperdagangkan. Pasar saham telah dimulai.Perusahaan Hindia Belanda Timur, dibentuk untuk membangun perdagangan rempah-rempah, dioperasikan sebagai penguasa kolonial atas Indonesia dan Negara koloni lainnya, sebuah bidang yang termasuk melakukan operasi militer terhadap pribumi nakal dan bersaing kekuasaan kolonial.

Pengendalian perusahaan diadakan rapat oleh direksi, dengan pemegang saham biasa tidak memiliki pengaruh banyak pada manajemen atau bahkan akses ke laporan akuntansi perusahaan.Namun, pemegang saham diberi balasan yang baik untuk investasi mereka. Perusahaan membayar dividen rata-rata lebih dari 16 persen per tahun 1602-1650. Inovasi Keuangan di Amsterdam memiliki berbagai bentuk. Pada 1609, investor yang dipimpin oleh Isaac Le Maire terbentuk sindikat keuangan pertama dalam sejarah, tetapi perdagangan mereka hanya terkoordinasi memberikan sedikit dampak dalam mendorong turun harga saham, yang cenderung kuat sepanjang abad ke-17. Pada 1620, perusahaan itu memperluas penerbitan surat berharga dengan penggunaan pertama dari obligasi korporasi.  

Perusahaan Belanda Barat dibentuk pada tahun 1621, membawa penerbit baru ke pasar modal yang sedang berkembang. Amsterdam tumbuh sebagai pusat keuangan sejak 1630-an, di mana kontrak untuk pengiriman umbi bunga melonjak liar dan kemudian jatuh. Teknik-teknik baru dan instrumen berkembang biak untuk efek serta komoditas, termasuk opsi, repo dan margin trading. 

Joseph de la Vega, juga dikenal sebagai Yusuf Penso de la Vega dan variasi lainnya namanya, adalah seorang pedagang Amsterdam dari keluarga Yahudi Spanyol dan seorang penulis yang produktif serta pengusaha sukses di Amsterdam abad ke-17. Bukunya confussion of confussion menjelaskan cara kerja pasar modal kota. Ini adalah buku paling awal tentang perdagangan saham, berbentuk dialog antara pedagang, pemegang saham dan filsuf, buku ini menggambarkan sebuah pasar yang canggih namun juga rentan terhadap ekses-ekses, dan de la Vega menawarkan saran kepada pembaca tentang seperti topik sebagai ketidakpastian yang dihadapi dalam pergeseran pasar dan pentingnya kesabaran dalam investasi.

Tahun yang de la Vega diterbitkan juga membawa sebuah acara yang membantu menyebarkan teknik keuangan dan bakat dari Amsterdam ke London. Ini adalah "glorious revolution," di mana penguasa Belanda William dari Orange juga naik tahta Inggris. William berusaha untuk memodernisasi keuangan Inggris untuk membayar untuk perang, dan dengan demikian obligasi pertama pemerintah kerajaan diterbitkan pada 1693 dan Bank of England didirikan tahun berikutnya. Segera setelah itu, saham gabungan Inggris perusahaan-perusahaan mulai go public.Pialang saham pertama London dilarang oleh pusat komersial tua yang dikenal sebagai Bursa Royal, dilaporkan karena sikap kasar mereka. Sebaliknya, perdagangan baru dilakukan dari rumah kopi sepanjang Exchange Alley. Pada 1698, seorang broker bernama John Castaing, beroperasi dari Jonathan's Coffee House, adalah daftar posting reguler harga saham dan komoditas. Daftar mereka menandai awal dari Bursa Efek London.

Salah satu gelembung sejarah keuangan terbesar terjadi pada beberapa dekade mendatang. Di pusat itu adalah South Sea Company, yang didirikan pada tahun 1711 untuk melakukan perdagangan Inggris dengan Amerika Selatan, dan Perusahaan Mississippi, berfokus pada perdagangan dengan koloni Louisiana Perancis dan dipuji oleh transplantasi pemodal John Skotlandia Law, yang bertindak sebagai banker pusat Prancis. Investor tersentak saham di kedua, dan apa pun yang tersedia. Pada tahun 1720, pada puncak mania, ada suatu korban dari "perusahaan untuk melaksanakan suatu usaha dari keuntungan besar, tetapi tidak ada yang tahu apa itu." 

Pada akhir tahun yang sama, harga saham telah runtuh, tampak jelas bahwa harapan kekayaan dekat dari Amerika yang berlebihan. Di London, Parlemen  meluluskan Bubble Act, yang menyatakan bahwa hanya perusahaan charter yang royal yang dapat menerbitkan saham publik. Perdagangan saham lebih terbatas dan tenang dalam beberapa dekade berikutnya. Namun pasar terselamatkan, dan dengan saham tahun 1790 sedang diperdagangkan di Amerika Serikat.  Pada tanggal 8 Februari 1971, NASDAQ, bursa saham elektronik pertama di dunia, mulai beroperasi.


Sejarah Pasar Modal Indonesia
 

Di Indonesia sendiri Pasar modal sudah muncul pada zaman kolonial Belanda. Ketika itu pemerintah Belanda merasa amat membutuhkan suatu biro yang memperdagangkan efek-efeknya di tanah jajahannya, Indonesia. Lantas, pada 14 Desember 1912 Amsterdam Effectenbeureurs memilih Batavia sebagai cabangnya. Pada saat itu, bursa ini bernama Verreniging Voor de Effectenhandel. Di tingkat Asia, bursa ini menjadi bursa tertua setelah Hongkong(1817), Mumbai(1830) dan Tokyo(1878).

Tujuan pemerintah Belanda mendirikan pasar modal pada waktu itu adalah untuk menghimpun dana guna menunjang ekspansi usaha perkebunan milik orang-orang Belanda di Indonesia. Dan memang saat itu perkebunan Belanda di Indonesia maju pesat, sehingga dalam waktu singkat menjadi salah satu bursa internasional yang sangat menguntungkan. Yang diperdagangkan tentu saja, saham dan obligasi pemerintah Hindia-Belanda.

Tuntutan pasar yang begitu besar terhadap perdagangan efek membuat pemerintah Belanda memutuskan bahwa kantor perdagangan bursa tidak cukup didirikan di Batavia saja. Pada tanggal 11 Januari 1925 dibukalah bursa efek di Surabaya yang beranggotakan enam perusahaan makelar, yaitu Fa Dunlop & Kolf, Fa Gijeselman & Streup, Fa A Van Velsen, Fa Beaukkerk & Co, PO Loonen dan N Koseten. Lantas 1 Agustus tahun yang sama menyusul dibuka kantor perdagangan efek di Semarang dengan anggota  Fa Dunlop & Kolf, Fa Gijeselman & Streup, Fa Monod & Co dan Fa PH Soeter & Co.

Di masa itu, investor pribumi yang bertransaksi di bursa efek di Indonesia sangat sedikit karena memang jarang sekali orang pribumi yang memiliki uang berlebih. Sehingga kebanyakan inversto adalah orang Belanda, Arab, dan Cina. Hanya saja pada saat itu, transaksi bisa juga dilakukan di luar bursa dan tak ada penitipan saham. Sistem perdagangan yang berlangsung paling lama sekitar dua jam ini mirip lelang yang disebut call effect. Dalam system ini tiap efek diteriakkan oleh pemimpin call. Masing-masing pialang mengajukan penawaran beli atau jual. Kalau cocok, terjadilah transaksi. Sehingga amat sulit melacak berapa besar volume perdagangan efek yang terjadi.

Sampai pecah Perang Dunia II pola perdagangan efek di Indonesia sama saja. Tak ada akurat mengenai besaran efek yang diperdagangkan. Tak ada data akurat mengenai besaran efek yang diperdagangkan. Saham yang laris di bursa dan aspek teknis lainnya. Ceceran data yang dibuat oleh Frits Arenz Oroh, bekas Kepala Pembantu Urusan Pasar Uang dan Pasar Modal Bank Indonesia menyebutkan sampai 1938 ada 107 perusahaan swasta yang go public. Dengan total modal sektor 183,03 juta gulden dan emisi obligasi seniali 21,75 juta gulden. 

Pada awal tahun 1939 terjadi gejolak politik di Eropa yang mempengaruhi pasar efek Indonesia. Melihat situasi yang tidak menguntungkan ini, pemerintahan kolonial Belanda menutup bursa efek di Surabaya maupun di Semarang yang kemudian memusatkan perdagangan efek di Jakarta. Kemudian, pada tanggal 10 Mei 1940 bursa efek di Jakarta juga ditutup yang  disebabkan oleh perang dunia II. Padahal,saat itu di Jakarta terdapat 250 jenis saham dengan nilai 1,4 miliar gulden. Dengan penutupan ketiga bursa efek tersebut, maka kegiatan perdagangan efek di Indonesia menjadi terhenti. 

Pada tanggal 17 Mei 1940 secara keseluruhan kegiatan perdagangan efek ditutup dan dikeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa semua efek-efek harus disimpan dalam bank yang ditunjuk oleh Pemerintah Hindia Belanda. Penutupan ketiga bursa efek tersebut sangat mengganggu likuiditas efek, menyulitkan para pemilik efek, dan berakibat pula pada penutupan kantor-kantor pialang serta pemutusan hubungan kerja. Selain itu juga mengakibatkan banyak perusahaan dan perseorangan enggan menanam modal di Indonesia. Dengan demikian, dapat dikatakan, pecahnya Perang Dunia II menandai berakhirnya aktivitas pasar modal pada zaman penjajahan Belanda.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Sebuah Negara yang masih baru jelas membutuhkan modal pembangunan yang besar. Apalagi bersamaan itu terjadi revolusi fisik yang otomatis membuat Negara ini semakin terpuruk soal sumber dana. Pemerintah membutuhkan sumber pembiayaan untuk pembangunan. Untuk itu, maka pada 1 September 1951 dikeularkan UU Darurat No. 13 tentang Bursa dan kemudian ditetapkan sebagai UU Bursa No. 15 Tahun 1952. Kemudian, menteri keuangan Soemitro Djojohadikusumo meresmikan kembali Bursa Efek Jakarta yang berkantor di gedung De Javaneshe Bank (Bank Indonesia, Jakarta-Kota). Efek yang diperdagangkan adalah efek yang dikeluarkan sebelum Perang Dunia II. Aktivitas ini semakin meningkat sejak Bank Industri Negara mengeluarkan pinjaman obligasi berturut-turut pada tahun 1954, 1955, dan 1956. Para pembeli obligasi kebanyakan adalah warga negara Belanda, baik perorangan maupun badan hukum. Semua anggota diperbolehkan melakukan transaksi abitrase dengan luar negeri terutama dengan Amsterdam.

Namun keadaan ini hanya berlangsung sampai pada tahun 1958, karena mulai saat itu terlihat kelesuan dan kemunduran perdagangan di Bursa. Hal ini diakibatkan politik konfrontasi yang dilancarkan pemerintah RI terhadap Belanda sehingga mengganggu hubungan ekonomi kedua negara dan mengakibatkan banyak warga negara Belanda meninggalkan Indonesia. Perkembangan tersebut makin parah sejalan dengan memburuknya hubungan Republik Indonesia dengan Belanda mengenai sengketa Irian Jaya dan memuncaknya aksi pengambil-alihan semua perusahaan Belanda di Indonesia, sesuai dengan Undang-undang Nasionalisasi No. 86 Tahun 1958.
       Kemudian disusul dengan instruksi dari Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda (BANAS) pada tahun 1960, yaitu larangan bagi Bursa Efek Indonesia untuk memperdagangkan semua Efek dari perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia, termasuk semua Efek yang bernominasi mata uang Belanda. Tingkat inflasi pada waktu itu yang cukup tinggi ketika itu, makin menggoncang dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pasar uang dan pasar modal, juga terhadap mata uang rupiah yang mencapai puncaknya pada tahun 1966. Penurunan ini mengakibatkan nilai nominal saham dan obligasi menjadi rendah, sehingga tidak menarik lagi bagi investor. Hal ini merupakan pasang surut Pasar Modal Indonesia pada zaman Orde Lama. 

Orde Baru (Orba) pun kemudian menggantikan Orde Lama (Orla). Pada awalnya pemerintahan Orba juga belum berpikir untuk menghidupkan kembali pasar modal meskipun pada saat itu sangat membutuhkan dana pembangunan. Hingga pada tanggal 26 Juli 1968 dengan surat keputusan direksi BI No. 4/16 Kep-Dir di BI dibentuk tim persiapan (PU) Pasar Uang dan (PM) Pasar Modal. Hasil penelitian menyatakan bahwa benih dari PM di Indonesia sebenarnya sudah ditanam pemerintah sejak tahun 1952, tetapi karena situasi politik dan masyarakat masih awam tentang pasar modal, maka pertumbuhan Bursa Efek di Indonesia sejak tahun 1958 s/d 1976 mengalami kemunduran.


Setelah tim PU dan PM menyelesaikan tugasnya dengan baik, maka dengan surat keputusan Kep-Menkeu No. Kep-25/MK/IV/1/72 tanggal 13 Januari 1972 tim dibubarkan, dan pada tahun 1976 dibentuk Bapepam (Badan Pembina Pasar Modal) dan PT Danareksa. Bapepam bertugas membantu Menteri Keuangan yang diketuai oleh Gubernur Bank Sentral. Dengan terbentuknya Bapepam, maka terlihat kesungguhan dan intensitas untuk membentuk kembali PU dan PM. Selain sebagai pembantu menteri keuangan, Bapepam juga menjalankan fungsi ganda yaitu sebagai pengawas dan pengelola bursa efek.

Pada tanggal 10 Agustus 1977 berdasarkan kepres RI No. 52 tahun 1976 pasar modal diaktifkan kembali yang ditandai dengan go publik-nya PT. Semen Cibinong dan beberapa perusahaan lainnya. Namun begitu, peresmian tersebut bukan berarti pasar modal Indonesia telah memasuki era kebangkitan. Ibarat Rumah, ada bangunannya tapi tanpa isi dan penghuninya. Perjalanan pasar modal Indonesia ternyata masih memerlukan waktu yang cukup panjang sehingga mencapai kondisi seperti sekarang. Jika diperiodisasikan, perkembangan pasar modal di era Orba bisa dibagi menjadi tiga periode, era pra deregulasi (1977-1987), era deregulasi 1987-1990) dan era pasca deregulasi. 

Era Pra Deregulasi Pada era ini bisa dibilang pasar modal Indonesia masih mengalami masa suram karena pada saat itu perusahaan Indonesia masih kental diwarnai dengan budaya perusahaan keluarga. Dan seperti yang sudah dimaklumi, cirri perusahaan ini sangat tertutup. Jangankan membuka diri agar sahamnya bisa dimiliki publik atau go public di pasar modal, member sedikit sahamnya kepada satu dua orang pun terasa berat bahkan mungkin tabu.           
Keadaan seperti ini memaksa pemerintah berusaha keras untuk membujuk perusahaan untuk membuka diri ke pasar modal. Berbagai kemudahan diberikan pemerintah seperti tax incentive. Tetapi itupun ternyata tidak cukup untuk menaikan minat pengusaha terhadap pasar modal. Sehingga perusahaan yang masuk ke pasar modal saat itu bisa dibilang sangat sedikit. Masalah lain yang membuat pasar modal Indonesia di massa itu diliputi kesuraman disebabkan pula oleh faktor yang muncul dari lembaga pasar modal itu sendiri. Banyak aturan yang dianggap oleh perusahaan tidak terlalu menguntungkan mereka yang go public, yaitu:Adanya persyaratan laba minimum 10% dari modal sendiri bagi perusahaan yang ingin go public. Tertutupnya kesempatan bagi inverstor asing untuk ikut berpartisipasi dalam pemilikan saham. Masyarakat belum banyak yang mengerti pasar modal sehingga jumlah investor pun tidak berkembang. Adanya batas maksimum fluktuasi harga saham sebesar 4% dari harga awal dalam setiap hari perdagangan di bursa. Tidak adanya perlakuan yang sama terutama dalam hal pajak yang berasal dari bunga deposito dengan deviden. Belum dibukanya kesempatan bagi perusahaan untuk mencatatkan seluruh saham di bursa. 

Era Deregulasi
Pada 1987 sejalan dengan semakin besarnya kebutuhan dana investasi dan pembangunan, serta perlunya menciptakan iklim usaha yang kondusif, pemerintah mulai menyadari peran strategis pasar modal. Dari sini, pemerintah merombak berbagai aturan yang dianggap menghambat minat perusahaan untuk memasuki bursa. Karenanya pemerintah lantas meluncurkan tiga perangkat paket penting kebijakan pasar modal. Intinya berupa deregulasi. Ketiga paket itu masing-masing:
1. Pakdes 1987
   Pakdes 1987 merupakan penyederhanaan persyaratan proses emisi saham dan obligasi, dihapuskannya biaya yang sebelumnya dipungut oleh Bapepam, seperti biaya pendaftaran emisi efek. Selain itu dibuka pula kesempatan bagi pemodal asing untuk membeli efek maksimal 49% dari total emisi. Pakdes 87 juga menghapus batasan fluktuasi harga saham di bursa efek dan memperkenalkan bursa paralel. Sebagai pilihan bagi emiten yang belum memenuhi syarat untuk memasuki bursa efek.

2. Pakto 1988
  Pakto 88 ditujukan pada sektor perbankkan, namun mempunyai dampak terhadap perkembangan pasar modal. Pakto 88 berisikan tentang ketentuan 3 L (Legal, Lending, Limit), dan pengenaan pajak atas bunga deposito. Pengenaan pajak ini berdampak positif terhadap perkembangan pasar modal. Sebab dengan keluarnya kebijaksanaan ini berarti pemerintah memberi perlakuan yang sama antara sektor perbankan dan sektor pasar modal
3. Pakdes 1988
  Pakdes 1988 pada dasarnya memberikan dorongan yang lebih jauh pada pasar modal dengan membuka peluang bagi swasta untuk menyelenggarakan bursa. Dibukanya izin bagi investor asing untuk membeli saham di bursa Indonesia.

Era Pasca Deregulasi
Lahirnya berbagai deregulasi kebijakan itu, mulai dari undang-undang hingga keputusan Bapepam telah menebalkan kepercayaan investor terhadap pasar modal Indoensia. Hal ini tentu berimbas ke pasar modal Indonesia yang berkembang pesat. Cerminan itu bisa terlihat dari bertambahnya jumlah perusahaan yang go public di pasar modal Indonesia., termasuk terjadinya peningkatan volume perdagangan di BEJ.

Mulai dari tahun 1991 sampai akhir 1996, pasar modal Indonesia terusbergerak maju. Dari segi hukum, UU No. 8 tahun 1995 dan aturan pendukung lainnya telah memberdayakan Bapepam dalam penegakkan hukum, misalnya menjatuhkan sanksi denda, pencabutan ijin dan sebagainya.

Adanya perkembangan tersebut pasar modal Indonesia dibuat sekelas dengan pasar modal modern lainnya. BEJ pun mengotomatisasi operasi perdagangan efek terpadu, yaitu dengan system komputerisasi yang disebut Jakarta Automated Trading System (JATS). Implementasi JATS dilaksanakan mulai tanggal 22 Mei 1995. Dengan system perdagangan yang baru dan bersifat otomatis ini, akan memberikan faslitas yang memungkinkan frekuensi perdagangan seham yang lebih besar, sehingga akan tercapai praktik pasar yang lebih transparan karena dengan system ini memungkinkan distribusi informasi yang lebih akurat dan kepada pelaku pasar dengan efisien dan real time.
 

Namun era gemilang ini ternyata tidak berjalan mulus. Perekonomian Indonesia secara tidak terduga mengalami musibah yang memilukan. Musibah ini awalnya hanya menghantam nilai tukar rupiah, yang ditandai dengan anjloknya nilai rupiah terhadap dollar AS hingga pernah mencapai Rp 17.000 per dollar AS. Depresiasi rupiah ini pada gilirannya berimbas ke pasar modal, karena mayoritas emiten memiliki utang dalam mata uang asing. Sialnya, utang tersebut jarang sekali yang diberi bemper (hedging). Akibatnya bisa diduga, emiten mengalami kesulitan likuiditas, utang macet, dan rugi kurs menganga lebar. Ini membuat harga saham anjlok dan indeks yang pada pertengahan 1997 pernah mencapai puncaknya di posisi 747 poin menukik tajam hingga ke posisi 231 poin. Sepanjang 1998 dan 1999, tambahan emiten baru di bursa minim sekali. Pada 1998, Cuma ada satu emiten baru, dan pada 1999 yang terjadi malah sebaliknya 12 emiten didelisting dari bursa.
 
Musibah krisis moneter yang menimpa perekonomian nasional hingga saat ini, tidak bisa dipungkiri merupakan ujian terberat bagi pasar modal Indonesia. Namun begitu bukan berarti pasar modal Indonesia mengalami kiamat. Buktinya, pasar kini mulai menunjukkan kekuatannya kembali, indeks pada awal tahun 2000 berhasil menyentuh level 700 dan emiten baru mulai mengalir cukup deras. Agar musibah tersebut tidak terulang kembali, pemerintah harus mampu membangun satu kerangka pasar modal semakin menjadi primadona.


Leave a Reply